diplomat Kerajaan Inggris yang memilih Islam sebagai jalan hidup. Ia memutuskan memeluk Islam pada 1951, setelah menempuh pencarian yang panjang. Sejak saat itu dia menyandang nama baru Hassan Abdul Hakeem. Namun, dalam berbagai kesempatan ia kerap menggunakan nama Hassan Le Gai Eaton.
Ia lahir di Swiss pada 1921, saat perjanjian damai untuk mengakhiri Perang Dunia pertama ditandatangani. Meski lahir di Swiss, namun ia bukan orang Swiss. Kedua orang tuanya berkebangsaan Inggris. Ayah Eaton adalah seorang tentara Inggris yang dikirim ke Swiss. Mereka adalah pemeluk Kristen. Kendati demikian, Eaton tumbuh dan dibesarkan sebagai seorang agnostik oleh orang tuanya.
Ia mengenyam pendidikan di Charterhouse dan King’s College, Cambridge. Di sana, ia bekerja selama beberapa tahun sebagai pengajar dan jurnalis di Jamaica dan Mesir, sebelum akhirnya memutuskan bergabung dengan British Diplomatic Service (Dinas Diplomasi Inggris). Dia juga pernah menjadi konsultan Pusat Budaya Inggris di London.
Di negara asalnya, Eaton dikenal luas berkat karya-karya tulisnya yang indah, puitis, dan bagus. Buku-bukunya antara lain Islam and the Destiny of Men (Islam dan Tujuan Manusia), King of the Castle (Raja Istana), dan Remembering God (Mengingat Tuhan). Buku-buku karya Charles Le Gai Eaton itu telah mengubah hidup beberapa orang. Bahkan, bukunya juga memegang rekor tertinggi di bidang ilmu pengetahuan dan literatur.
Surat kabar The Sunday Times edisi Februari 2004 dalam sebuah artikelnya menulis bahwa tulisan-tulisan mantan diplomat Inggris ini banyak menginspirasi masyarakat non-Muslim Inggris untuk masuk Islam. Eaton menerima surat dari banyak orang yang tidak setuju dengan Kristen yang semakin kontemporer dan mencari agama lain yang tidak begitu berkompromi dengan kehidupan modern.
Perkenalan Eaton dengan agama Islam terjadi begitu saja, tanpa ia sadari. Saat itu usianya masih belasan tahun. Ia mengenal Islam dari seorang wanita muda yang dipekerjakan oleh ibunya sebagai pengasuh anak. Pengasuhnya ini, terang Eaton sebagaimana dilansir situs Islamreligion, memiliki ambisi menjadi seorang misionaris di Arab Saudi.
”Dia kerap menyebut bahwa dirinya harus menyelamatkan jiwa-jiwa yang tersesat, yakni orang-orang yang disebutnya sebagai kafir Muslim,” terang Eaton menjelaskan tentang sikap pembantunya itu.
Suatu hari, kata Eaton, pengasuhnya ini mengajaknya jalan-jalan hingga mereka melewati penjara Wandsworth (saat itu keluarganya tinggal di wilayah Wandsworth, selatan London). Sepanjang perjalanan sang pengasuh mengatakan kepada Eaton berbagai hal yang menakutkan mengenai keberadaan seseorang berambut merah di langit sana, yang sewaktu-waktu siap menembak dirinya jika ia nakal.
Kisah mengenai perjalanan itu kemudian ia sampaikan ke ibunya, setelah tiba di rumah. ”Aku tidak ingat apa yang dikatakannya untuk menghibur saya, tapi gadis itu segera diberhentikan. Namun, inilah kali pertama saya mendengar mengenai keberadaan Tuhan,” paparnya.
Peristiwa tersebut mendorong orang tuanya untuk mengirim Eaton ke sekolah berasrama, Charterhouse. Di sekolah barunya ini, ia banyak mendapatkan pengajaran tentang ajaran Kristen dan kitab suci mereka. Di sinilah ia mulai secara intens bersentuhan dengan dogma-dogma agama. Pada akhirnya, Eaton mulai merasakan ketertarikan terhadap ilmu filsafat. Secara rutin, ia mulai membaca karya-karya Descartes, Kant, Hume, Spinoza, Schopenhauer, dan Bertrand Russell, atau membaca karya-karya yang menjelaskan ajaran-ajaran mereka.
Setelah menamatkan pendidikan di Charterhouse, ia mendaftar di King’s College, Cambridge. Saat menempuh pendidikan di King’s College ini, ia berkenalan dengaan novelis Inggris, Leo H Myers. Karya-karya Myers banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Hindu Vedanta. Namun, Perang Dunia Kedua (PD II) yang berkecamuk pada 1939, memaksanya meninggalkan bangku sekolah dan ikut program wajib militer. Ia kemudian dikirim ke Akademi Militer Kerajaan di Sandhurst. Pendidikan militer ini ia tempuh selama lima bulan.
Selepas dari kemiliteran, Eaton mulai menulis. Banyak hal yang ia tulis saat itu, di antaranya mengenai ajaran Vedanta, Taoisme, dan Budhisme Zen. Karya-karya awalnya ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran penulis-penulis Barat, termasuk Leo Myers. Tulisan-tulisannya ini kemudian ia terbitkan sebagai sebuah esai dengan judul The Richest Vein.
Saat The Richest Vein diluncurkan, Eaton telah meninggalkan Inggris menuju Jamaica. Salah seorang teman sekolah, menawari Eaton sebuah pekerjaan sebagai penulis di Jamaica. Namun, pekerjaan tersebut hanya dijalaninya selama 2,5 tahun. Karena alasan keluarga, ia memutuskan kembali ke Inggris.
Belajar Islam
Saat kembali ke Inggris ini Eaton menerima dua buah surat dari penggemarnya yang diketahuinya kemudian hari juga banyak membaca karya-karya Rene Guenon, seorang penulis sufisme Islam. Karena tertarik pada isi surat tersebut, kemudian ia memutuskan untuk bertemu dengan mereka. ”Mereka mengatakan bahwa saya bisa menemukan apa yang jelas-jelas saya cari selama ini, tidak di India atau Cina tetapi dalam dimensi sufi Islam,” jelasnya mengenai ungkapan penggemarnya itu.
Maka sejak saat itu, Eaton mulai membaca tentang Islam dengan semakin meningkat minatnya terhadap sufisme Islam. Perubahan yang terjadi padanya ini mendapat reaksi keras dari seorang teman dekatnya yang bekerja di Timur Tengah. Sang sahabat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keinginan Eaton untuk mendalami Islam. Sahabatnya ini banyak bercerita mengenai ajaran Islam yang tidak rasional, erat dengan kekerasan, dan sejumlah keburukan lainnya yang banyak disematkan oleh dunia Barat.
Pada saat bersamaan, perubahan juga terjadi dalam kehidupan ekonomi Eaton. Sekembalinya di Inggris, ia tidak memiliki pekerjaan dan hidup dalam kemiskinan. Ia mengajukan surat lamaran tiap kali membaca iklan lowongan kerja. Salah satunya adalah surat lamaran yang ditujukan kepada Universitas Kairo untuk posisi asisten dosen jurusan Sastra Inggris. ”Ini hal terbodoh yang pernah aku lakukan,” ujarnya membatin.
”Bagaimana mungkin aku yang lulusan Cambridge jurusan sejarah dan buta sama sekali mengenai sastra sebelum abad ke-19 bisa diterima. Karena bagaimanapun mereka pasti akan mempekerjakan seseorang yang memiliki kualitas,” ungkapnya.
Akhirnya pada Oktober 1950, saat usianya menginjak 29, Eaton berangkat ke Kairo. Di antara rekan-rekan kerjanya di Universitas Kairo adalah seorang Muslim berkebangsaan Inggris, Martin Lings, yang telah lama menetap di Mesir. Lings merupakan salah seorang teman Rene Guenon yang juga merupakan teman dari dua orang penggemar karya-karyanya. Tali pertemanan pun kemudian terjalin di antara Eaton dan Lings. Di luar waktu kerja, Eaton kerap berkunjung ke rumah Lings yang berada di luar Kota Kairo.
Dari interaksi yang kerap dilakukannya bersama Lings, ia banyak mengetahui mengenai ajaran Islam lebih jauh. Ketertarikannya terhadap Islam semakin menggebu-gebu, setiap kali ia menyampaikan mata kuliah di hadapan para mahasiswanya. Kendati demikian, keragu-raguan masih menghinggapi dirinya.
”Padahal, saat itu saya mulai benar-benar bisa menikmati kehidupanku di Kairo. Tapi, satu pertanyaan yang menuntut sebuah jawaban tegas tengah menanti di hadapanku di saat yang bersamaan,” ujarnya.
Setelah berpikir masak-masak, Eaton akhirnya datang menemui rekan kerjanya, Martin Lings. Di hadapan rekannya itu, ia menumpahkan seluruh kegundahan hatinya dan meminta Lings untuk membimbingnya membaca kalimat Syahadat, sebagai tanda bahwa ia menerima Islam sebagai agamanya yang baru. ”Meskipun pada awalnya ragu-ragu, ia melakukannya,” kenang Eaton.
Rasa takut sekaligus bahagia, ungkap Eaton, menjalari sekujur tubuhnya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, sambung dia, dirinya memanjatkan doa kepada Sang Pencipta. Maka resmilah ia menjadi seorang Muslim bertepatan dengan bulan Ramadhan 1951. Keesokan harinya, terang Eaton, ia memutuskan untuk ikut berpuasa. ”Sesuatu yang saya tidak pernah membayangkan akan saya lakukan.”